What in My Mind
Pukul 9 malam
tepat. Rue dan Tanya bergegas keluar kamar. Janjian dengan yang lain ketemu di
di lobby pukul 9, artinya minimal mereka telat 3 menit. Kau tak ingin telat
lebih dari itu kalau janjian dengan teman-teman kantor Rue dan Tanya yang bisa
sangat nyinyir soal waktu. Kantor menugaskan 15 pagawai baru untuk mengikuti
pelatihan menulis di hotel pinggir kota. Kau tak bisa mengharapkan mereka
kembali ke kamar lalu membaca ulang hasil pelatihan seharian tadi kan. Jadi
setelah pelatihan selesai pukul 8 malam, 9 pegawai yang masih lajang kembali ke
kamar masing-masing untuk ganti baju dan janjian bertemu lagi di lobi pukul 9
untuk pergi ke klub yang tak jauh dari hotel.
Rue dan Tanya
masih terdengar cekikikan di depan kamar mereka usai menutup pintu, entah apa
yang mereka bicarakan . Kamar itu hampir terletak di ujung lorong sayap timur
hotel, hanya ada satu kamar lagi sebelum tangga darurat. Entah dimana letak
kamar teman kantor mereka lain, sekarang musim liburan sekolah hotel ini hampir
fully book, rombongan kantor mereka mendapat kamar-kamar terakhir yang tersebar di berbagai lantai.
Sreett.
Rue reflek
menoleh kearah sumber suara. Kamar paling ujung. Ada jeda sebelum Tanya
menggerakkan kepalanya dengan malas mengikuti arah pandangan Rue. Seorang bapak setengah baya muncul di depan kamar. Tersenyum kepada mereka. Tanya tak
tahu harus membalas senyum atau tidak, jadi dia segera memalingkan muka dan
melanjutkan berjalan lurus menuju lift. Bapak tersebut berjalan ke arah yang
sama dengan mereka. Mendadak suasana menjadi kaku, Rue dan Tanya sudah lupa apa
yang tadi mereka tertawakan saat menutup pintu.
Hening. Hanya
ada mereka bertiga di lorong.
“Keluar mencari
angin adek-adek ini?” Tiba-tiba saja Bapak tersebut membuka percakapan dari
belakang.
Tanya ingin
segera mempercepat langkah. Dia tak suka berbicara pada orang asing yang
tersenyum tiba-tiba, terlebih dia lelaki setengah baya. Tapi Rue rupanya
bersikap lebih ramah. Dia menjawab pertanyaan dengan sopan. Bapak itu terus
merepet. Rue berbasa-basi sepatah-sepatah. Ah, Tanya makin tidak nyaman. Lorong
itu beraroma kayu yang baru dipernis, mengingatkannya pada gudang di rumah
nenek. Dinding di lorong dilapisi kertas berwarna coklat muda, dengan karpet
warna senada dan lampu kuning pucat, lorong ini menyedihkan. Suram. Tidak ada
kesan mewah untuk hotel berbintang 4.
Suara siulan.
Bapak itu
sekarang bersiul. Tanya makin tak suka lelaki ini. Juga suasana temaram, bau
cat pernis, karpet coklat muda. Ia heran bagaimana Rue bisa tahan berbasa-basi.
Kaku.
Tunggu.
Cuma ada suara
siulan.
Rue sudah
berhenti bicara. Kemana dia?
Menoleh atau
tidak. Tanya ragu.
Ia tegang.
Karpet lorong ini memang cukup tebal untuk menyamarkan derap sepatu flat Rue.
Kemana gadis itu? Tak terdengar suara bass-nya sama sekali. Kenapa tak
memberitahu jika kembali ke kamar? Tanya tidak suka ide dia berada berdua di
lorong temaram bersama lelaki asing setengah baya.
Suara siulan
semakin dekat.
Langkah Tanya
semakin kaku.
“Aku tak suka
ini. Aku akan menoleh. Harus.
Sekara..”
Brak.
Gelap.
Reality
Riris dan Tata
cekikian sambil bergegas keluar dan menutup pintu kamar. Janjian di loby jam 9
dengan temen-temen lajang yang lain.
Bapak-bapak dari
kamar ujung menutup pintu. Tersenyum pada mereka. Tapi mereka tak terlalu
menghiraukan, terlalu bersemangat dengan apa yang menanti mereka di loby.
Bapak dari kamar
ujung berjalan di belakang mereka sepanjang lorong.
Bapak itu
membuka percakapan. Dijawab Riris ala kadarnya.
SI Bapak mulai
putus asa memecahkan kaku di lorong yang sepi. Dia mulai bersiul. Tata tak
suka.
Fyiuh, untung
Arif, pacar Riris sudah berdiri di samping belokan menuju lift. Kamarnya memang
terletak persis didepan belokan.
Ketiganya segera
turun di loby. Menunggu yang lain. Lalu malam tersebut dihabiskan dengan
karaoke bersama. Menyenangkan :D.
Bapak di kamar
ujung lorong? Entahlah, siapa peduli.