Suatu kali, aku sangat ingin beli
sepatu formal. Sepatu hitam kulit cantik dengan hak 5cm atau lebih. Aku 24
tahun waktu itu dan sepatu di rak didominasi oleh sandal dan flat shoes warna
terang berbahan suede. Akhirnya aku pun mendapatkan sepatu impianku di
department store, well, sebenarnya dia bukan pilihan pertama, namun sepatu
incaran di toko itu sudah kehabisan nomor ukuranku. Sepatu hitam formalku bukan
sepatu mahal, bahkan untuk ukuranku yang cuma seorang PNS. Bahannya juga bukan
kulit asli, keras sekali. Tapi dia sepatu formal pertamaku.
Sehari aku pakai ke kantor,
tungkaiku lecet. Hari kedua kuplester kedua tungkaiku. Begitu seterusnya. Aku
kesakitan berjalan dengan sepatu itu. Tapi aku sudah 24 tahun, gadis seumuranku
pergi ke kantor memakai sepatu kulit berwarna hitam, bukan crocs tosca seperti
sepatu andalanku sebelumnya. Tampaknya tungkaiku terluka cukup parah, saat dua
minggu kemudian lecetnya sudah mengering baru aku menyadari tungkaiku benjol. Berwarna
merah kehitaman, jelek sekali.
Kini setahun setelah aku membeli
sepatu itu, aku kembali mengevaluasi keputusanku. Sepatu itu modelnya tidak
terlalu wah, aku tidak pernah benar-benar menyukainya. Tapi aku terlalu memaksakan
hingga menyiksa diri. Bekas luka di tungkaiku, benjolan itu, tidak pernah
hilang bahkan sampai sekarang. Aku menyesal. Aku ingin sekali membuang sepatu
itu, tapi rasanya sudah basi bersikap labil laiknya abg.
Aku tertawa getir ketika
mengingat minggu pertamaku memakai sepatu kulit berwarna hitam itu, aku membuat
filosofi baru (kuunggah di tumblr ku): sakit hati itu seperti sepatu baru,
menyiksa di hari pertama. Tapi tunggu seminggu, dia akan menyesuaikan dengan
kakimu. Hahaha, cliché. Setelah seminggu sepatuku memang tidak membuatku
kesulitan berjalan, tapi seperti kubilang bekas lukanya tak pernah hilang.
Sore ini terlintas di pikiranku,
kayaknya ada ya hubungan dua orang seperti hubunganku dengan sepatu itu. Suatu
kali kamu menetapkan standar kepantasan bagi calon pendampingmu karena kamu
merasa sudah seperti itulah seharusnya. Kamu 24 tahun, dan semua orang di
kantormu memakai sepatu formal. Maka kamu mencari sepatu kulit hitam itu, saat
model favoritmu tidak mempunyai nomor kakimu, kamu akan coba model kedua dan
seterusnya. Secara tidak sadar saat kita dewasa, kriteria calon pendamping kita
berubah, sebut saja kemapaman, bibit bobot bebet (ini orang jawa aja),
pekerjaan, tanggung jawab, blablabla. Padahal taruhan deh, pasti ada masa-masa
kita naksir gitu ya sama cowok berandalan kerjaannya bolos sekolah (tapi kalo
ga lucu sih ga bakal naksir juga sih).
Terus itu salah?
Ya enggak juga. Aku sadar, aku ga
bisa pake crocs terus ke kantor karena emang gak pantes kalo dipikir-pikir. Yang
penting, ga usah ngoyo lah. Kalo sepatu formal hitam kulit impianmu ga ada
ukuran yang cocok, cari di tempat lain sampai nemu yang sreg di hati. Jangan
mekso dengan yang kurang pas di hati. Gitu juga urusan jodoh.
Psst, spoiler.. Pada akhirnya
beberapa bulan setelah aku beli sepatu itu, musim berganti tahun bergulir, aku
dapet sepatu kulit hitam mahal, kali ini kulit asli, dengan model simple tapi
bagus banget dipake di kaki, GRATIS. Ya gitu deh hidup. Kadang emang bikin
geleng-geleng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar