Minggu, 22 Juli 2018

Max Havelaar, a little note for myself

Saya sadar betul persepsi dan key takeways akan suatu karya-apapun itu- bervariasi dari orang ke orang. Sering saya jumpai orang lain mempunyai pandangan dan perasaan yang berbeda sekali dengan pandangan dan perasaan saya akan suatu buku, film, dan karya seni lain yang sama-sama kami lihat atau baca. Ya memang bebas to, intepratasi tiap orang kan dipengaruhi oleh pengalaman dan pemahaman masing-masing individu. 

Yang menarik adalah saya baru sadar bahwa persepsi saya-sekarang dan saya-yang-dulu bisa jauh benar bedanya. Jadi, baru-baru ini, saya membaca ulang Max Havelaar. Kalau tidak salah, kali pertama saya membacanya adalah sewaktu saya masih SMP. Yang paling saya ingat dan membekas di benak saya tentang buku itu adalah kisah cinta dan sajak-sajak Saijah dan Adinda. Yo maklumi saja, umur segitu memang lagi klise-klisenya to? Mana pahamlah saya tentang bagaimana pengaruh buku tersebut terhadap gerakan politik balas budi yang santer disuarakan di Eropa waktu itu. Atau mengapa Pramodya Ananta Toer berpendapat Max Havelaar adalah kisah yang membunuh kolonialisme.

Kini, belasan tahun dari pertama kali saya membaca Max Havelaar, ketika konsep feodalisme dan kolonialisme (atau penjajahan) sudah bukan hanya hapalan tanggal dan peristiwa untuk sekedar lulus ujian mata pelajaran sejarah, saya baru paham mengapa buku tersebut sedemikian dibicarakan. Bagi saya pribadi, pengalaman menydari perbedaan sudut pandang dan pemahaman akan Max Havelaar dari Tata-remaja sedikit membuat saya overwhelmed. Lucu juga ya melihat seberapa jauh kita telah berkembang?