Senin, 17 Juni 2013

Sepatu Jodoh


Suatu kali, aku sangat ingin beli sepatu formal. Sepatu hitam kulit cantik dengan hak 5cm atau lebih. Aku 24 tahun waktu itu dan sepatu di rak didominasi oleh sandal dan flat shoes warna terang berbahan suede. Akhirnya aku pun mendapatkan sepatu impianku di department store, well, sebenarnya dia bukan pilihan pertama, namun sepatu incaran di toko itu sudah kehabisan nomor ukuranku. Sepatu hitam formalku bukan sepatu mahal, bahkan untuk ukuranku yang cuma seorang PNS. Bahannya juga bukan kulit asli, keras sekali. Tapi dia sepatu formal pertamaku.

Sehari aku pakai ke kantor, tungkaiku lecet. Hari kedua kuplester kedua tungkaiku. Begitu seterusnya. Aku kesakitan berjalan dengan sepatu itu. Tapi aku sudah 24 tahun, gadis seumuranku pergi ke kantor memakai sepatu kulit berwarna hitam, bukan crocs tosca seperti sepatu andalanku sebelumnya. Tampaknya tungkaiku terluka cukup parah, saat dua minggu kemudian lecetnya sudah mengering baru aku menyadari tungkaiku benjol. Berwarna merah kehitaman, jelek sekali.

Kini setahun setelah aku membeli sepatu itu, aku kembali mengevaluasi keputusanku. Sepatu itu modelnya tidak terlalu wah, aku tidak pernah benar-benar menyukainya. Tapi aku terlalu memaksakan hingga menyiksa diri. Bekas luka di tungkaiku, benjolan itu, tidak pernah hilang bahkan sampai sekarang. Aku menyesal. Aku ingin sekali membuang sepatu itu, tapi rasanya sudah basi bersikap labil laiknya abg.

Aku tertawa getir ketika mengingat minggu pertamaku memakai sepatu kulit berwarna hitam itu, aku membuat filosofi baru (kuunggah di tumblr ku): sakit hati itu seperti sepatu baru, menyiksa di hari pertama. Tapi tunggu seminggu, dia akan menyesuaikan dengan kakimu. Hahaha, cliché. Setelah seminggu sepatuku memang tidak membuatku kesulitan berjalan, tapi seperti kubilang bekas lukanya tak pernah hilang.

Sore ini terlintas di pikiranku, kayaknya ada ya hubungan dua orang seperti hubunganku dengan sepatu itu. Suatu kali kamu menetapkan standar kepantasan bagi calon pendampingmu karena kamu merasa sudah seperti itulah seharusnya. Kamu 24 tahun, dan semua orang di kantormu memakai sepatu formal. Maka kamu mencari sepatu kulit hitam itu, saat model favoritmu tidak mempunyai nomor kakimu, kamu akan coba model kedua dan seterusnya. Secara tidak sadar saat kita dewasa, kriteria calon pendamping kita berubah, sebut saja kemapaman, bibit bobot bebet (ini orang jawa aja), pekerjaan, tanggung jawab, blablabla. Padahal taruhan deh, pasti ada masa-masa kita naksir gitu ya sama cowok berandalan kerjaannya bolos sekolah (tapi kalo ga lucu sih ga bakal naksir juga sih).

Terus itu salah?

Ya enggak juga. Aku sadar, aku ga bisa pake crocs terus ke kantor karena emang gak pantes kalo dipikir-pikir. Yang penting, ga usah ngoyo lah. Kalo sepatu formal hitam kulit impianmu ga ada ukuran yang cocok, cari di tempat lain sampai nemu yang sreg di hati. Jangan mekso dengan yang kurang pas di hati. Gitu juga urusan jodoh.


Psst, spoiler.. Pada akhirnya beberapa bulan setelah aku beli sepatu itu, musim berganti tahun bergulir, aku dapet sepatu kulit hitam mahal, kali ini kulit asli, dengan model simple tapi bagus banget dipake di kaki, GRATIS. Ya gitu deh hidup. Kadang emang bikin geleng-geleng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar